28 November 2007

Ulos Pangkait ni Holong





Teks & Foto oleh Saniah LS (Aplaus edisi 59/23 Nov 2007)

“Ijuk pangihot ni hodong. Ulos pangkait ni halong,” artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama. Beginilah bunyi-bunyian filsafat Batak untuk ulos.

ULOS, kain tenun khas Batak ini dipakai mulai dari adat kelahiran, perkawinan, hingga kematian. Malah kain yang dipintal dari benang ini sudah sering diuloskan pada acara seremonial lainnya. Atau sebagai cindera mata untuk para tamu terhormat yang datang di tano Batak ini. Ulos kini jadi incaran para kolektor Asing…
Ulos, memang dijadikan simbolis ikatan kasih sayang antara sesama orang Batak maupun orang non Batak. Fungsinya sendiri sebenarnya dipakai untuk menghangatkan badan. Malah ulos dianggap kaum Batak sebagai sumber panas, selain matahari dan api. Setiap ulos memiliki sifat, fungsi, hubungan dan keadaan dengan hal dan atau benda tertentu yang berbeda-beda.

Beragam Ulos, Fungsi Serta Cara Pemakaiannya
Tiga ulos tertinggi bangsa Batak yaitu ulos Ragidup, ragihotang dan sibolang. Ketiga ulos ini memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1. Ulos Ragidup
Ulos ini paling tinggi derajatnya dan pembuatannya sangat sulit dilakukan. Ulos ragidup terdiri dari 3 bagian. Dua sisinya ditenus secara bersamaan sedangkan dibagian tengahnya ditenun secara terpisah dan pengerjaan bagian inilah yang sangat sulit. Bayangkan dibagian tengah ini ada 3 lagi bagian. Yaitu bagian badan dan duanya lagi sebagai pinarhalak hana/pigura pria dan pinarhalak boru-boru/pigura wanita. Tiap kedua pigura ini terdapat lagi beragam lukisan. Dengan warna serta corak yang hidup berlambangkan kehidupan.
Dalam adat perkahwinan, ulos ini diberikan orang tua pengantin perempuan kepada ibu dari pengantin lelaki, ‘ulos pargomgom’. Mendoakan agar besannya ini bisa hidup rukun bersama anak perempuannya.
2. Ulos Ragihotang
Derajatnya juga tinggi, namun tidak sesulit pembuatan ulos ragidup. Hotang artinya rotan. Ulos Ragihotang diulosi kepada mereka yang dianggap picik dan berharap agar orang tersebut berubah menjadi baik. Ulos ini juga dipakai sebagai pembukus jenazah dan untuk pembukus tulang belulang, dalam proses upacara penguburan kedua kalinya si jenazah.
3. Ulos Sibolang
Ulos ini juga memiliki derajat yang tinggi. Diberikan kepada mereka yang berjasa ‘mabulangbulangi’ (menghormati) orang tua pengantin wanita yang mengulosi ayah pengantin pria. Ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya. Sebagai penghormatan atas jasanya kepada sang suami semasa hidupnya. Ulos dengan motif bergaris-garis yang mengambarkan burung atau bintang bersusun biasanya digunakan untuk upacara adat lainnya. Seperti penyambutan kelahiran anak pertama.
Ulos dapat dibedakan dalam tiga golongan, dua diantaranya:
- Ulos nametmet; ukurannya panjang dan lebarnya jauh lebih kecil, tidak digunakan pada upacara adat, melainkan untuk dipakai sehari-hari. Termasuk dalam golongan ini antaranya yaitu ulos sirampat, ragihotang, namarpisaran, dan sebagainya.
- Ulos nabalga; ulos ini kelas tinggi atau tertinggi. Jenis ini pada umumnya digunakan ketika upacara adat, sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima. termasuk dalam golongan ini ialah: sibolang, runjat jobit, ragidup.
Cara memakai ulos pun bermacam-macam tergantung pada situasinya. Ada yang memakainya dibahu selayaknya memakai selendang. Memakai seperti sarung, bahkan ada yang melilitkannya dikepala. Ada juga yang mengikatkannya di pinggang.

Menjaga Kualitas dan Keaslian Ulos
Rumah produksi ini ambil peduli dengan kualitas kain ulos dan songket Tarutung. Beberapa waktu lalu Rumah Gorga memamerkan 30 lebih ulos berusia ratusan tahun yang dihimpungnya diberbagai sudut tano Batak ini. Saat kota Tarutung berusia 62 tahun. Tepatnya awal Oktober 2007 lalu.
“Karena ingin mengejar rupiah terkadang penenun tidak memperhatikan lagi kualitas hasil tenunan mereka. Sudah banyak manipulasi dengan bahan-bahan kasar dan motif aplikasi dari Palembang,” ujar Torang Sitorus, pemilik Rumah Gorga. Kata pemuda pelopor dibidang Kebudayaan dan Pariwisata 2007 ini lagi, “Jangan sampai motif asli Batak hilang dan dipersempit kalau ini terjadi maka kita tidak bisa melihat lagi motif aslinya. Nah, sekarang ini kita mencoba mengembalikan ulos ke motif asli dan pengerjaan seperti terdahulu.”
Ester Asisten dan selaku Pembina dari Rumah Gorga mengatakan saat ini mereka telah menemukan pewarnaan benang tenun jaman dulu yang menggunakan bahan-bahan dasar dari kulit kayu, rerumputan, akar-akaran, Lumpur bahkan dedaunan. Yang kemudian mereka aplikasikan kepada pengrajin binaan mereka. “Kita membeli benang asli, kemudian melakukan pewarnaan, setelah itu baru kita membagikan benang-benang katun tersebut kepada pengrajin,” terang Ester.
Benang pun dibagi kepada 3 jenis yaitu benang sebagai badan ulos, benang sebagai corak ulos dan benang pengikat ulos (ipahan). Benang-benang ini sebelum digunakan terlebih dahulu dikanji. Untuk menghilangkan warna lunturnya. Setelah itu benang pun mengalami pengeringan dengan cara penganginan.
Menenun Ulos
Benang yang sudah diwarna selanjutnya digulung atau di kerek pada sebuah tempat pengikat ulos yang digulung. Setelah benang disusun maka di manghani (memintal benang menjadi ulos). Di sini benang harus dihitung jumlahnya, sehingga benang yang sudah diberi corak dapat dipadukan menjadi motif. Kemudian ulos di totar atau ditenun menjadi ulos.

Desa Hutabarat
Kampung Ulos & Songket Tarutung

Di desa Hutabarat banyak terdapat pengrajin ulos dan kain songket Tarutung. Rata-rata masyarakat di sini mengandalkan hasil tenunan ulos dan songket untuk menghidupkan dapur mereka selain bertani. Kebanyakkan yang menjadi penenun di sini adalah anak-anak gadis berusia muda. Salah satunya adalah Hana Hutabarat. Cewek pendiam ini ‘diruangkerja’ nya nan sempit, berteman lampu neon 50 watt. Terus menyelesaikan tenunan ulosnya, yang dibayar per helainya Rp 200 ribu oleh pengutip yang biasanya mereka sebut dengan sebutan ‘toke’.

“Saya belajar menenun dari semenjak SMP. Belajar dengan orang lain dengan upah tiga puluh lima ribu rupiah setiap satu helai kain ulos,” akunya. Sekarang ia boleh legah dengan 1 buah mesin tenun yang masih tradisional ia kini bisa memintal benang tenun menjadi 4 helai ulos per bulannya. Per satu Minggu ia mampu menyelesaikan 1 helai kain ulos berukuran 2 meter ini. “Uang yang saya dapat ini untuk membantu biaya hidup keluarga saya,” tatapannya kosong, saya mencoba membuat Hana tertawa. Ternyata saya berhasil, tulang pungung keluarga C. Hutabarat dan M Simanjuntak ini tersenyum manis seraya mempertontonkan ulos sadom bermaniknya itu kepada saya. Jepret!

Saya pun beralih ketempat pengrajin lain. Kali ini pengrajin kain songket Tarutung yang lagi booming dikalangan pengrajin. Sebab kain ini lebih mahal dibandingkan kain ulos. Ima Sihombing, 24 tahun bersama saudara perempuannya yang lain menerusi geliat tenunan songket yang mereka pelajari dari sang bunda, Ruliah Hutabarat yang sudah menenun selama 25 tahun. Sarung songket berserta selendang yang ia hasilkan dihargai Rp 1 juta rupiah.
Diteras belakang rumahnya Ima menyongket. Ruang yang juga dijadikan ruang istirahat keluarga ini sambil menonton acara tivi ini, dipenuhi karung-karung padi simpanan keluarga. Ruliah, sambil menyandarkan tubuhnya pada karung padi. Terus menatap anak gadisnya menenun. Sesekali tatapan mereka beradu pandang, anak perawannya itu pun tersenyum malu. “Mulai dari pencelupan warna benang hingga menjadi kain semua kami lakukan sendiri. Motif dan pewarnaan kain pun tergantung pemesanan. Semakin halus hasil tenunan yang kami hasilkan maka semakin tinggi lah nilai jual kain ini,” ungkap Ima yang mulai menenun sejak usia 18 tahun. Tenunnya tetap memakai 100 lebih lidi dengan motif yang didesainnya sendiri.

27 November 2007

Ooo…Tanoku Tarutung







Teks & foto oleh Saniah LS (diterbitkan di Aplaus edisi 59/23 November 2007)

“Walah, susu kerbaunya kok beku?”
“Memang sengaja di bekukan, biar bisa dimakan seperti pudding,”
“Enak Apa?”
“Coba saja rasa,” kata teman yang baru pulang dari Tarutung dan membawakan susu kerbau sebagai oleh-oleh. Karena tidak biasa, saya merasa mual. Padahal kasiat susu kerbau ini besar manfaatnya bagi kesehatan.

TARUTUNG selain dikenal dengan oleh-oleh khasnya seperti kacang garing Sihobuk, Putu dan Nenas, ibu kota Tapanuli Utara ini juga terkenal sebagai daerah penghasil susu kerbau. Tapi sekarang saya tidak membicarakan susu kerbau. Melainkan, keindahan panorama alamnya. Kota ini akan anda rasakan keindahannya, kalau anda mulai inap dan melakukan penjelajahan di sini. Sungainya berada di atas kota…

Ke Tarutung, saat ini bisa di lalui dengan jalan darat dan udara. Dari darat, anda akan mengalami perjalanan 6 jam, menggunakan L300 atau bus. Ongkosngya berkisar sekitar 80 ribu rupiah. Sedangkan lewat jalur udara, menelan biaya sebesar Rp. 300.000,-/orang menggunakan pesawat ‘capung’ yang cuma sehari 1 kali keberangkatan. Pesawat ini berkapasitas 12 penumpang dan 2 orang pilot. Jarak tempuhnya lebih kurang 40 menit dari Lapangan Udara (Lanud), Medan ke bandara udara Silangit.

Danau Toba dari Udara
Tepat pukul 12.30 siang, saya sudah diterbangkan dengan pesawat ukuran mini ini dari Lanud. Di pandu oleh dua orang pilot asing bernama Ian Duggan dan Thay. Itu setelah saya chek in dan memasuki barang bawaan ke bagasi.

Pesawat akhirnya take-off sempurna meninggalkan landasan pacu. Perlahan-lahan ‘burung besi’ ini semakin meninggi. Enam ribu kaki hingga akhirnya ketinggiannya mencapai 11000 kaki di udara. Beruntung, hari itu cuaca sangat bersahabat. Warna langit dengan gradiasi biru keabu-abuan. Sangat indah. Ini pengalaman terbang pertama kali saya dengan pesawat kecil. Saya tidak perlu mematikan Handphone dan saya bisa menjepret pemandangan dari udara, sepuas hati.

Serrr…darah saya naik, waktu saya melihat kebawah. Saya takut dengan ketinggian. Tapi karena pemandangan di bawah sangat indah, akhirnya saya berani juga untuk terus menatap dan membidikan kamera digital saya. Wuiih…beautiful! Danau toba seperti mutiara. Ketika pesawat berada di atas danau kebangaan Sumatera Utara ini. Saya pun tak henti men-jepret tombol rana kamera.

Dari atas, saya seolah menatap hamparan bukit itu seperti kaki gurita. Terus, pohon pinus menjejali tepian lereng bukit tersebut. Sementara hamparan sawah bak karpet hijau membentang, mengkelangi rumah beratap seng yang mulai karatan. Tak ketinggalan, kerambah-kerambah di tepian danau pun berjejer dengan rapi di bawah kaki bukit nan menjulang.

Tidak lama saya merasakan pesawat mulai menurunkan ketinggiannya perlahan, dalam hitungan puluhan menit akhirnya pesawat kami landing di Silangit. Ketika itu mata saya sempat menatap di balik jendela pesawat, gumpalan awan yang mulai diselimuti mendung. Saya pun turun bersama penumpang lainnya.

Sepuluh langkah kaki menapak, saya melihat lambaian tangan seorang teman dibibir pintu masuk bandara Silangit. Mata saya juga sempat menangkap kesibukan dua reporter tivi yang mengabadikan pendaratan pesawat kami dengan handy camp mereka. Sesekali mata ini coba mencuri pandang melihat kesibukan awak pesawat ketika memeriksa kondisi pesawat. Karena tidak lama lagi pesawat ini akan terbang kembali ke Medan.

Ada 10 tempat wisata rohani maupun alam di Tarutung yang Aplaus list kan buat anda:
1.Salib Kasih (Bukit Siatas Barita)
2.Kantor HKBP terbesar di Asia Tenggara (Tarutung)
3.Monumen Raja Sisingamangaraja XII, tempat pertama kali Raja
Sisingamangaraja XII di kebumikan (Bakkara)
4.Gereja Dame Saitnihuta tahun 1864 (Silindung II)
5.Pemandian Air Panas (Sipoholon)
6.Pemandian Air Soda (Desa Parbubu)
7.Tempat pembuatan kacang Sihobuk ‘Martabe’ (Silangkitang)
8.Gua Hutabarat (Desa Hutabarat)
9.Pengrajin kain ulos & songket Tarutung (Desa Hutabarat)
10.Desa pertama kali DR. I. L Nommensen singah (Huta Julu Nionan)

Kacang Sihobuk Merek Martabe
Kendaraan roda empat yang saya tumpangi dari Silangit, melewati pasar tradisional Sigorong-gorong. Kemudian berhenti di Silangkitang, di mana kios-kios kecil milik masyarakat setempat berjejer, menjajakan kacang Sihobuk di sepanjang jalanan ini. Hati saya tiba-tiba terusik, ingin melihat lebih dekat lagi, bagaimana para pengongseng kacang tanah ini mengongseng dengan ligat. Hingga kacang berkulit ini garing di atas wajan pengorengan besar. Tidak seberapa jauh dari kios UD Martabe, saya membaca tulisan Batak dan Inggris, “Horas…well come di Martabe. Kacang Sihobuk”.
UD Martabe adalah milik seorang wanita bernama Maya Manalu. Mulanya wanita berdarah Batak yang telah membesarkan ke-16 anaknya dengan hasil jerih payahnya ini beraut wajah tidak sedap. Maklum lah ia pernah dikecewakan. Lantaran tempatnya ini sering dijadikan kunjungan para peninjau Usaha Kecil Menengah, namun dana UKM tidak kunjung menggucur ke badan usaha yang dibangunnya dari nol ini.

Setelah tahu siapa saya, wanita pekerja keras ini pun menuturkan bagaimana usahanya ini dirintis. “Saya ini dulu jualan klontong, tapi tidak maju. Modal habis dan saya pun mencoba usaha lain, buka usaha kacang Sihobuk kecil-kecilan,” cerita perempuan usia 56 tahun ini. Ternyata kacang sihobuknya dirubah menjadi merk Martabe lantaran banyak pedagang memakai nama kacang garing ini dengan nama yang sama, Sihobuk. Sehingga tidak ada perbedaan sinigfikan, untuk membedakan kacang garing osengan ini milik badan usaha mana.

Satu Minggu UD-nya ini bisa menghasilkan 250 kaleng kacang Sihobuk. Biar kacangnya makin mantap dan garing, Maya dengan 8 orang pekerjanya mengoreng kacangnya ini dengan tanah sungai. “Biar kacangnya ini pala gurih, garing dan berasa. Bumbu garamnya ya pasir sungai ini. Pasir juga mampu men-se-te-ril-kan panas hingga kacang tidak gosong.”
Biar makin yakin saya pun mencoba merasakannya, ternyata memang garing dan enak gigitannya. Biar tidak tercampur dengan kacang yang tidak baik, maka UD ini melakukan 2 kali penyotiran. Sebelum dan sesudah dimasak. Hal hasil karena keseriusan UD Martabe ini menjaga kualitas kacang gorengnya maka ia pun mendapatkan piagam bintang satu, Keamanan Pangan oleh POM Sumut tahun 2003 lalu.

Salib Kasih di Bukit Siatas Barita
Perut ternyata tidak mau kompromi lagi. Setelah dari Silangkitang, Kami pun singah sebentar di restauran Gorga, Sipoholon. Sebelum beranjak ke Bukit Siatas Barita, Salib Kasih. Di restauran berinterior klasik ini, saya menikmati Mix Jus Ala Gorga (Terong Belanda + Pokat + Sirsak). Jus tanpa es ini menyingahi tengorokan saya. Plong, saya segar kembali, apalagi setelah menghirup dan menikmati udara sejuk pegunungan yang terletak dibelakang restauran berkelas nasional ini. Plus, bonus pemandangan Gereja HKBP bergaya Eropa yang berada di pesawahan yang sedang menguning.

Saya meneruskan perjalanan. Menuju wisata rohani tersohor ini, yang tidak pernah terlewatkan turis lokal maupun asing, saat menyingahi Tarutung. Ketika mulai menjajaki kaki di tanah perbukitan yang dipenuhi pohon pinus ini. Saya membaca dari awal hingga akhir, bait-bait dari Kitab Injil yang digantungkan di badan pohon.
Saya juga melihat batu prasasti berukiran nama pengunjung yang sengaja diletakkan rapi dengan berbagai bentuk. Pada setiap badan jalan perbukitan hingga sampai kepuncak, di mana sebuah Salib berdiri gagah, menghadap dan berdepan dengan Gereja Dame Saitnihuta, berdiri tahun 1864 di Silindung II. Juga ada beberapa tulisan kata-kata mutiara dari beberapa tokoh penting dunia yang di gantungkan di pepohonan setelah tulisan Injil berakhir.

Untuk bisa menatap Salib kasih yang bertengger megah di atas perbukitan Siatas Barita. Maka anda juga bisa melihatnya dari kantor bupati yang lokasinya terletak dilereng bukit. Di depan Kantor Bupati ini, anda dapat melihat monument Raja Sisingamangaraja XII. Tempat di mana pertama kali raja Batak ini disemayamkan. Sebelum tulang belulang Raja Sisingamangaraja XII dipindahkan ke makam barunya di Soposurung Balige sana.

Anda akan merasakan hal yang lain saat menjajaki bukit ini. Selain kesejukan udara dengan hutan pinusnya. Di atas bukit ini juga anda bisa menatap kota Tarutung saat di malam hari. Seperti melihat hamparan bintang di daratan. Di sebelah kanan arah mata memandang, terdapat gunung Dolok Martilubang yang tidak terlihat karena pekatnya malam.

Kolam Air Panas & Air Soda
Kira-kira 10 menit dari Silangkitang ke Sipoholon. Anda dapat menikmati air panas yang di tampung di kamar mandi berukuran 3 meter. Berada pas dibelakang warung singahan milik Situmeang bersaudara. Tongkrongan wisata ini dibangun secara sederhana sambil berdagang makanan dan minuman di sepanjang lereng bukit belerang ini.
Setelah minum kopi saya mencoba mandi dan menikmati guyuran air belerang panas ini dalam kamar mandi berlapis papan yang tertutup dan bersih. Gratis, tapi kalau saya tidak minum atau makan di sini, saya harus membayar sebesar 3 ribu perak sekali mandi. Air panas ini bisa mengobati berbagai jenis penyakit kulit dan rematik. Wah…guyurannya telah menghangatkan tubuh saya. Saya juga bisa berendam dalam bak berbetuk telaga ini.

Menurut penuturan Nurmaida Siregar, isteri pemilik tempat ini, yang sudah berdiri 17 tahun. Mengatakan kalau pemandian air panas Sipoholon ramai dikunjungi wisatawan saat liburan panjang dan sekolah. “Tamu-tamu yang datang kemari ada yang dari Pekan Baru, Jakarta, Belanda dan Jepang.” Sayang tempat seindah ini tidak dijamah Dinas Pariwisata, semua dibangun dan diprakasai masyarakat setempat secara sederhana, yang mencoba mengais dan mengatungkan perekonomian mereka dengan industri pelancongan.
Kami pun melanjutkan tempat pemandian lain. Kolam Air Soda di Desa Parbubu. Satu-satunya di Indonesia dan kolam kedua di Dunia, setelah di Venezuela. Awalnya tempat ini hutan rimba yang angker penuh kisah misteri. Kolam ajaib ini ditemukan keluarga Ridwan Tobing. Dibuka untuk umum tahun 1973 dan kemudian dijadikan sebagai mata pencarian keluarga ini. Saya melihat gelembung-gelembung soda yang keluar dari mata air di hampir semua sisi depan kolam berbentuk kuali ini.

Karena penasaran saya pun menampung air ini dengan tangan dan meminumnya. Benar sekali airnya berasa, rasanya seperti minuman soda, manis-manis asam. Bahkan tidak seperti air putih biasa, saat disentuh air berasa dan hangat ini seperti pekat dan melekat. “Setiap orang yang mandi di sini, tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor dan harus memakai pakaian mandi yang sopan,” papar Linda, anak ke-3 Ridwan. Terus katanya, “Kami juga tidak mengutip bayaran untuk mereka yang mandi, jika pengunjung minum dan makan di sini. Tapi kalau mereka cuma mandi saja, maka biasanya mereka membayar seikhlas hati.”

Kota Tarutung terdiri dari satu wilayah Kecamatan yang dibelah oleh aliran Sungai Sigeaon. Beraneka ragam wisata bisa anda nikmati di sini. Tempatnya tidak bergitu berjahuan antara satu tempat dengan tempat pelancogan lainnya. Kota tempat peradaban orang Batak ini disebut Rura Silundung ini karena dikelilingi pegunungan dan keindahan alam yang menajubkan. Di kota yang baru berusia 62 tahun ini juga terdapat kantor HKBP terbesar di Asia Tenggara.

02 November 2007

Energi Positif by gw

Apa yang terjadi saat energi positif mulai bergerak menjauhimu ?., Jawabannya lu bisa jadi bloon karena virus keraguan masuk kedalam aliran darah, bergerak cepat menuju jantung pikiran, perlahan mematikan sel-sel kreatifitas, membekukan otak kecil, membuat lidah jadi kelu, tidak ada sepatah kata yang bisa terucap. Hanya tinggal raga tanpa jiwa.....

Bagaimana mengembalikan energi positif ?. Mudah banget. SEMANGAT!!. DO SOMETHING !! jangan hanya duduk diam menyesali hasil. NOTHING IMPOSSIBLE!!. YOU WONT KNOW UNTIL YOU BEGIN!!!...

Matahari sebentar lagi terbit, membuka lembaran hari baru, yang masih putih bersih. Gw ingin menuangkan energi positif gw disitu....Amin.