19 July 2008

Sate Kameng & Lincah Aceh Khas Lhokseumawe




Lhokseumawe, kota urban ini terkenal sebagai tongkrongan jajanan. Aneka menu dari berbagai daerah bisa anda dapatkan di sini. Tapi rugi, kalau singgah ke sini anda malah menyantap makanan yang bukan khas daerah sini.

JANGAN cari mie Aceh di sini, karena mie goreng di sini ya mie Aceh itu. Anda bisa mencari ragam makanan lain yang tidak pernah anda santap di Medan. Seperti martabak durian—orang Aceh menyebutnya puko keube—bukan martabak telur, paling terkenal tempat tongkrongannya di Geudong—lebih kurang 15 menit dari pusat kota. Bebek panggang atau bebek gulai—paling terkenal di Merdu—melewati Bireun (dua jam lebih dari Lhokseumawe). Nasi gurih dengan dendeng Aceh goreng—bisa anda dapati di berbagai tempat—sebagai santapan pagi masyarakat di sini.

Kalau ingin mencicipi Sate Matang tidak perlu mengejarnya sampai ke Matang Geulumpangdua. Di Krueng Gukueh—lebih kurang 10 menit dari pusat kota, anda bisa menemukan goyang lidah khas Aceh ini. Apalagi sate kambing-nya, uhhhhhmaungat that (enak sekali). Jangan lupa juga dengan rujak Aceh, karena di Medan tidak se-booming mie Aceh.

Sate Kambing Apa En
Sate Apa En—sebutan untuk paman/om, di Jalan Medan-Banda Aceh, Simpang Krueng Gukueh. Baik hari libur atau bukan tempat ini selalu ramai dikunjungi. Karena sate kambingnya memang sedap. Habis makan keringat bercucuran, bukan karena panasnya arang di tungku melainkan dasyatnya sate kambing serta kuahnya, bikin lidah ‘goyang’. “Sang maungat that sate kameng nyoe…(kaya’-nya enak sekali sate kambing ini),” kata saya kala itu.

Apa En bernama asli Ilyas Raden, sudah sembilan tahun menekuni bidang usah ini sejak tahun 1999. Ramuan resep sate ia dapatkan dari abang iparnya, M. Nur yang berprofesi sama seperti dirinya—penjual sate. “Dulu saya mangkal di Warkop Robusta, tepatnya 2005 lalu mulai pindah di sini, Keude (warung) Teuku Daud,” terang pria berusia 30 tahun yang tampil rapi meski ia cukup disibukan dengan kegiatan jual-beli di sini.

Katanya lagi, daging kambingnya adalah daging pilihan yang dipotong berukuran dadu, biar tidak bau, dicuci beberapa kali kemudian dicampur garam, penyedap rasa dan gula, sebelum ditusuk pada tusuk sate. Wangi daging segar bakar terhirup saat bara arang mulai membakar sate hingga matang. Kuah soto pun tersedia panas, isinya berupa campuran tulang rusuk dan lemak kambing, tanpa santan tentunya. Bumbu kacang, ups… tunggu dulu, bumbu kacangnya beda dengan bumbu sate kacang Madura atau sate kacang Padang. Kacang dicampur dengan kecap manis, bawang goreng, tidak digiling halus. Kata Apa En, biar kacangnya terasa.

Sate Aceh merupakan lauk kuah soto, bumbu kacang yang dimakan dengan nasi putih bertabur bawang goreng—bukan makan dengan lontong. Menurut Mae—pedagang klontong—ia sering menghabiskan waktu bersama keluarga makan siang di sini. Menurutnya yang membuat sate kambing di sini istimewa terletak pada kuah soto dan bumbu kacangnya. “Kalau kita sudah sekali menyantapnya maka kita akan ketagihan,” terangnya ramah.

Hal senada juga di ucapkan Saiful—pegawai swasta, yang menghabiskan jam makan siangnya di warkop ini bersama teman sekantornya. “Habis makan sate kambing, keringat akan keluar. Pedasnya terasa, sepertinya ada rasa merica pada kuahnya. Bumbu kacangnya juga tidak terlalu manis. Harga satu tusuk seribu lima ratus rupiah.” Belum bisa dipercaya kalau tidak mencobanya, karena itu saya pun mencicipinya. Walah…tanpa terasa tusuk demi tusuk sate itu saya santap dengan lahap. Lantas keringat di kening saya mulai berkucuran, tubuh jadi panas, juice semangka cepat-cepat saya pesan dari warung sebelah untuk menetralkannya.

Satu hari ternyata sate Apa En menghabiskan dua hingga tiga ekor kambing…

Rujak Aceh Ujong Blang
Seperti biasa di atas meja papan yang sederhana ada beberapa limun bersoda dengan berbagai rasa dan merek. Juga kerupuk, keripik pisang dan kacang goreng. Pantai ini, tempat santainya muda-mudi dan keluarga saat weekend. Memandang laut lepas dan melihat aktifitas para nelayan melaut, sambil menyantap rujak…

Rujaknya tidak sama dengan rujak Kolam, Medan. Salah satu campuran bumbu rujaknya terbuat dari manisan aren bukan gulan jawa. Buah batok (buah ini hanya ada di Aceh) dan rumbia. Rasa kelat terasa bukan hanya dari pisang batu saja, melainkan dari buah rumbia. Dua buah ini akan mencipratkan aroma tersendiri bersama campuran manisan arennya.

Buah batok, bentuknya seperti batok kelapa. Buah ini di belah seperti membelah kelapa. Karena kulitnya keras seperti tempurung. Isi buahnya, biji-bijian kecil yang berserat, kalau digiling akan halus seperti biji pisang batu. Buah ini wangi dan rasanya asam-manis. Buah rumbia, batangnya menghasilkan sagu dan daunnya dijadikan atap. Kedua buah ini banyak terdapat di daratan Aceh.

Menurut Wati—penjual rujak, proses pembuatan bumbu rujak adalah sebagai berikut, “ Garam secukupnya baru kemudian cabe rawit, buah rumbiah, buah batok, asam jawa, pisang batu digiling secara bersamaan. Setelah agak halus, baru manisan aren dituangkan. Manisan inilah pengganti gula jawa. Inilah yang membedakan rujak Aceh dengan rujak Kolam,” jelas wanita muda berkulit hitam manis yang mendapatkan resep pembuatan rujak secara turun temurun.

Inong (sebutan perempuan Aceh) itu dengan lihai mencampurkan semua buah yang sudah dipotongnya ukuran dadu. Kemudian mengaduknya dengan sendok di atas batu giling berukuran besar. Setelah merata baru dia menuangkannya dalam piring. Penghabisan, ia menaburi kacang goreng di atasnya. Wuih…sedap, ranum buah sangat padan rasanya bersama bumbu. Pedas pun akan terasa dilidah bersama manisnya manisan aren.

Campuran buah berupa ubi rambat kuning, mangga muda, mancang (sejenis mangga), mentimun, kedondong, pepaya muda, jambu air, bengkoang. Terkadang, kalau lagi musim jeruk Bali, buah ini juga ikut dicampurkan. Sudah terbayangkan bagaimana enaknya? Bumbunya terasa pedas, kelat, manis, dan asam. Saya tidak membiarkan piring ini tersisa. Yam…yam