Lhokseumawe,
Kalau ingin mencicipi Sate Matang tidak perlu mengejarnya sampai ke Matang Geulumpangdua. Di Krueng Gukueh—lebih kurang 10 menit dari pusat
Sate Kambing Apa En
Sate Apa En—sebutan untuk paman/om, di Jalan
Apa En bernama asli Ilyas Raden, sudah sembilan tahun menekuni bidang usah ini sejak tahun 1999. Ramuan resep sate ia dapatkan dari abang iparnya, M. Nur yang berprofesi sama seperti dirinya—penjual sate. “Dulu saya mangkal di Warkop Robusta, tepatnya 2005 lalu mulai pindah di sini, Keude (warung) Teuku Daud,” terang pria berusia 30 tahun yang tampil rapi meski ia cukup disibukan dengan kegiatan jual-beli di sini.
Katanya lagi, daging kambingnya adalah daging pilihan yang dipotong berukuran dadu, biar tidak bau, dicuci beberapa kali kemudian dicampur garam, penyedap rasa dan gula, sebelum ditusuk pada tusuk sate. Wangi daging segar bakar terhirup saat bara arang mulai membakar sate hingga matang. Kuah soto pun tersedia panas, isinya berupa campuran tulang rusuk dan lemak kambing, tanpa santan tentunya. Bumbu kacang, ups… tunggu dulu, bumbu kacangnya beda dengan bumbu sate kacang Madura atau sate kacang
Sate Aceh merupakan lauk kuah soto, bumbu kacang yang dimakan dengan nasi putih bertabur bawang goreng—bukan makan dengan lontong. Menurut Mae—pedagang klontong—ia sering menghabiskan waktu bersama keluarga makan siang di sini. Menurutnya yang membuat sate kambing di sini istimewa terletak pada kuah soto dan bumbu kacangnya. “Kalau kita sudah sekali menyantapnya maka kita akan ketagihan,” terangnya ramah.
Hal senada juga di ucapkan Saiful—pegawai swasta, yang menghabiskan jam makan siangnya di warkop ini bersama teman sekantornya. “Habis makan sate kambing, keringat akan keluar. Pedasnya terasa, sepertinya ada rasa merica pada kuahnya. Bumbu kacangnya juga tidak terlalu manis. Harga satu tusuk seribu
Satu hari ternyata sate Apa En menghabiskan dua hingga tiga ekor kambing…
Rujak Aceh Ujong Blang
Seperti biasa di atas meja papan yang sederhana ada beberapa limun bersoda dengan berbagai rasa dan merek. Juga kerupuk, keripik pisang dan kacang goreng. Pantai ini, tempat santainya muda-mudi dan keluarga saat weekend. Memandang laut lepas dan melihat aktifitas para nelayan melaut, sambil menyantap rujak…
Buah batok, bentuknya seperti batok kelapa. Buah ini di belah seperti membelah kelapa. Karena kulitnya keras seperti tempurung. Isi buahnya, biji-bijian kecil yang berserat, kalau digiling akan halus seperti biji pisang batu. Buah ini wangi dan rasanya asam-manis. Buah rumbia, batangnya menghasilkan sagu dan daunnya dijadikan atap. Kedua buah ini banyak terdapat di daratan Aceh.
Menurut Wati—penjual rujak, proses pembuatan bumbu rujak adalah sebagai berikut, “ Garam secukupnya baru kemudian cabe rawit, buah rumbiah, buah batok, asam jawa, pisang batu digiling secara bersamaan. Setelah agak halus, baru manisan aren dituangkan. Manisan inilah pengganti gula jawa. Inilah yang membedakan rujak Aceh dengan rujak Kolam,” jelas wanita muda berkulit hitam manis yang mendapatkan resep pembuatan rujak secara turun temurun.
Campuran buah berupa ubi rambat kuning, mangga muda, mancang (sejenis mangga), mentimun, kedondong, pepaya muda, jambu air, bengkoang. Terkadang, kalau lagi musim jeruk