(Ini cerita semasa Ayah pergi meninggalkan kami selama-lamanya. 10 April 2009 nanti, setahun sudah Ayah tidak lagi bersama kami, dan sumpah aku benar-benar merasakan Ayah masih bersamaku sampai kapan pun, tapi ketika aku rindu,…aku baru tersadar Ayah sudah tiada lagi,…)
Aku duduk sejenak, di atas kursi yang mulai tua bersama orangtua, Bundaku. Di rumah kami yang semakintua juga. Aku tatap mata yang berbinar-binar itu, raut wajah yang mulai keriput. Semangat nya terus mengalir seiring irama cerita masa mudanya dulu. Aku selalu sabar mendengar bait-bait cerita Bunda yang barang kali entah berapa kali sudah berulang-ulang ia cerita kan kepadaku. Aku tetap berdialog, menanyakan dan memberi komen cerita Bunda, hingga,…tawa Bunda memecah keheningan malam yang mulai pekat, mata itu mulai letih menahan kantuk…Aku mencium kening Bunda dan lantas mengucapkan bahwa betapa aku meyayangi dirinya, begitu juga yang kulakukan pada Ayahku, yang sudah duluan terbaring, terlelap.
Ayahku, tidak dapat melihat tapi hatinya begitu berbinar dan terang. Dia tahu di mana langkah kakiku saat berjalan, begitu pun saat ia berjalan ia tak minta di papah, ia tahu kemana saja langkah yang dia bawah. dan Satu yang kini tak bisa aku lupakan dari ucapan ayah, kata yang sudah lama tak terdengar, “Hati-hati di jalan ya nak,” kata itu benar-benar syahdu dan menusuk ‘kantung’ sayangku. Mata ini juga berkaca-kaca, saat aku mulai menyapu dan melap lantai yang basah karena air bekas cebokan ayah saat pipis di ember yang telah disediakan kakakku, Anik. Ketika mata mulai beradu pandang dengan abangku yang menyempatkan pagi sebelum berangkat kerja, membersih dan mengurut tubuh ayah, agar segar. Sesekali lontar kata bermakna keluar dari mulut abangku, Amin, dan terkadang juga ada senda gurau, sehingga aku bisa mendengar jelas suara tawa Ayah yang khas. Aku pun tidak membiarkan kelang waktu berlalu begitu saja, ikut nimbrung menyuntikkan kata-kata semangat kepada Ayah.
Kata-kata kami, ternyata sangat berarti bak obat mujarab, Ayah kini mulai mengerakkan sedikit tubuhnya, kekanan, dan kekiri, aku masih ingat itu, karena itu untuk sekian kali aku melihat senyum termanis Ayah. Senam kecil di atas pembaringan. Ayahku juga sudah mulai bisa berjalan lagi, perlahan dan pelan, Terima kasih ya Allah SWT, karena kekuatan dan kesehatan yang Engkau berikan kepada Ayahku walau sesaat dan akhirnya ia kembali kepangkuanmu, 10 April 2008 lalu. Kata-kata ini tidak dijual di mal atau plaza mana pun dan tidak bisa dibayar dengan berapa rupiah pun, kata-kata sayang dari sang anak…dia dapat merasakan tangisku saat melihat keadaannya semakin tua renta…”Yah, kami sayang kamu…”.
***
Pernah kamu melakukannya? Menyisihkan sedikit waktumu untuk kedua orangtuamu yang masih hidup dan merasakan apa yang dirasakan orangtuamu saat melalui hari tuanya dalam sepi, tanpa suara kanak-kanakmu lagi?
Sungguh sangat kejam jika tidak sedikit pun kita memberikan kesempatan kepada waktu yang ada untuk memikirkan kedua orangtua kita selagi mereka hidup. Bukan hanya memikirkan tapi menjenguk bahkan merawatnya hingga ajal menjemput…aku dapat merasakan dan berdoa, agar disisa-sisa umurku ini, aku diberikan kesempatan Allah SWT merawat dan menjaga mereka…ingat mereka tidak menginginkan uang atau harta berlimpah untuk balasannya, yang pernah membesarkan kita. Mereka hanya meminta sedikit waktu kita untuk mendengar dan bercekrama dengan mereka (sebutan orangtua), meski sedikit waktu yang kita berika, tapi itu sudah sangat berharga lebih dari pada permata...dan tak bisa diucap dengan kata-kata. I love you Abi and I love you Bunda…