18 November 2009

Rumah Tanggaku Panggung Sandiwara

(Artikel ini sudah diterbitkan di Tabloid Modus Aceh Edisi 21 Thn VII)

Setelah mengarungi rumah tangga hampir 10 tahun sejak 1999, Dedy (nama samaran- red) tak pernah dianggap sebagai suami oleh Ina (nama samaran-red). Sang istri lebih penurut dengan keluarganya dari pada Dedy sebagai suami. Akibatnya, rumah tangga yang dijalani Dedy tak lebih hanya panggung sandiwara.

Saniah LS

Persis, 15 Juli 1999, Dedy menikahi Ina. Usia mereka hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Ina. Saat itu, Dedy berusia 26 tahun sedangkan Ina berusia 28 tahun.
Entah kenapa Dedy menerima saja coblangan tetangganya itu, padahal ia belum begitu kenal dengan Ina dan keluarganya dengan baik. Setelah tiga bulan pedekate tanpa pacaran dan dengan modal Rp 5 juta, Dedy pun memenuhi hasrat untuk berumah tangga. Dipersuntingnya dara kelahiran Pidie itu.
Kepada MODUS ACEH, 1 September lalu, Dedy berkisah. Rumah tangga yang dijalaninya tidak sesuai dengan hasrat dan keinginanya, membentuk rumah tangga yang harmonis, sakinah ma waddah wa rakhmah sebagai mana impian Dedy. Rumah tangga yang dibangun Dedy tak ubahnya bagai panggung sandiwara. Didepan kedua anaknya, Dedy berlakon seolah ia dan Ina hidup harmonis. Namun setelah anak-anak mereka tidur, pertengkaran demi pertengkaran pun terjadi.
Pemicu permasalahan dari awal pernikahan kedua anak manusia yang berlainan jenis ini adalah, karena faktor ikut campurnya keluarga istri dalam rumah tangga Dedy dan Ina. Dedy berpikir waktu itu karena penghasilannya pas-pasan, ia pun tinggal di rumah mertuanya. Tinggal serumah dengan mertua memang kadang ada enak juga tidak. Hingga akhirnya setelah mengumpulkan duit yang tidak sedikit jumlahnya Dedy pun membangun ‘istananya’ di atas tanah pemberian mertuanya.
Namun, setelah mereka (Dedy dan Ina) pindah ke rumah baru, ternyata masalah belum juga selesai. Walau tidak tinggal serumah lagi dengan mertuanya, ternyata sang istri juga tidak pernah berubah. Sebagai kepala keluarga, apapun ucapan Dedy tidak pernah didengar si istri. Ina malah makin menjadi-jadi. Sekarang Ina malah tidak mengurus segala kebutuhan Dedy sebagai suami. Dari pengakuan Dedy (maaf), Ina pun jarang meladeni Dedy dalam urusan kebutuhan bathin.
“Kalau saya mulai kearah itu, ia pun mulai mengamuk dan marah tak tentu arah. Saya mulai curiga barang kali istri saya itu sudah memiliki pria idaman lain. Saya pun menyelidikinya, tapi prasangka saya itu tak ada bukti yang kuat,” tutur Dedy.
Masih cerita Dedy lagi pada Media ini, Ina sekarang lebih asyik dengan dunianya sendiri. Dedy tidak tahu lagi bagaimana cara untuk memperbaiki hubungan rumah tangganya yang sudah terlanjur hambar. “Pernah saya lari ke narkoba, waktu itu saya tidak tahu harus berbuat apalagi. Kalau tidak pikir anak, mungkin saya akan pergi dari rumah itu. Yang herannya makin saya coba memperbaiki agar rumah tangga kami semakin membaik, tapi yang ada malah semakin memburuk,” ujar Dedy sambil menyulup asap rokoknya dalam-dalam. Kata dia, “Kini yang saya rasakan adalah perasaan hampa dan hambar. Rumah tangga impian saya ternyata tidak seindah yang saya bayangkan,” ungkap pria 40-an itu. Dedy adalah staf pengajar pada satu perguruan swasta yang ada di Banda Aceh.
Pemuda asal Aceh Utara ini pun tak habis pikir, kenapa sang istri bisa seperti itu, terlalu cuek dengan suami dan bila mengambil keputusan tetang permasalahan rumah tangga tanpa komporomi terlebih dahulu kepada suami selaku kepala keluarga. Ina lebih banyak mengikuti apa kata kedua orangtua dan keluarganya. “Saya merasa sebagai suami yang tak dianggap keberadaannya. Saya benar-benar sudah hampa,” beber Dedy lagi dengan raut kekecewaan.
Kalau dilihat dari penampilannya, pria berusia hampir setengah abad itu terkesan seperti orang yang tak terurus. Padahal kalau untuk soal cari nafkah buat keluarga, Dedy tipekal pria yang bertanggungjawab. Dari semula penghasilannya Rp 300 per bulan (tahun 1999) hingga sekarang ia bisa membangun rumah dengan ukuran 11 x 12 meter di atas tanah milik mertuanya itu. Hmmm…lumayan mewah.
Dedy ingin menjerit sekuat-kuatnya dengan dilema rumah tangganya itu. Kini yang ia rasakan kesendirian, kedua anak-anak itu masih kecil belum bisa dijadikan tempat curhat. Sementara keluarganya sudah lama meninggalkan dirinya. Karena ketidak-cocokan dengan keluarga istrinya. “Kalau keluarga saya datang ke Banda Aceh mereka akan lebih memilih tinggal di hotel atau di rumah saudara saya yang lain ketimbang tinggal di rumah saya. Entahlah, saya sudah pasrah dengan semua ini,” katanya sedikit berputus asa.
Pemicu ketidak-cocokan keluarga Dedy dengan pihak keluarga istrinya berawal pada tanggal 17 Juli 1999 silam. Ketika itu, ada acara tung dara baro (penerimaan pengantin perempuan di rumah penganti pria---red). Acara itu berlansungkan di kediaman orangtua Dedy, di Aceh Utara. Acara adat tadi menoreh luka yang terus diingat keluarganya. Sebab, kakak sulung Ina yang belum menikah, di depan para tamu dan kerabat Dedy, saat itu tiba-tiba saja mengamuk dan protes.
Si kakak tidak terima dirinya dilangkahin sang adik. Dia pun meminta agar perkawinan itu di batalkan. Sang kakak protes dan malah ia pun minta dikawinkan oleh Dedy, dia bersedia dipoligamikan. Jelas ini membuat berang keluarga Dedy kecewa dan kaget. Nah, berawal dari sinilah hubungan yang semula harmonis antara dua keluarga, tiba-tiba menjadi retak. Keluarga Dedy merasa dipermalukan.
Sementara pada acara intat linto (antar pengantin pria---red), tanggal 15 Juli 1999, pesta perkawinan berlangsung sukses di kediaman Ina di Pidie. Tapi, siapa sangka, acara tung dara baro di kediaman orangtua Dedy, malah keluarga Dedy dipermalukan dengan peristiwa itu. Apalagi, ketika keluarga Dedy merasa sang anak lebih peduli dengan keluarga istrinya ketimbang orangtuanya. Terutama saat Dedy membangun rumah di atas tanah mertuanya itu.
“Ibu saya sempat berucap, bangun saja rumah istrimu itu, jangan peduli dengan rumah orangtuamu ini. Biarkan saja rumah yang semakin tua ini roboh dengan sendirinya,” bebernya sedih. Dari keterangan Dedy, sebelum membangun rumahnya itu, Dedy sudah meminta izin dengan orangtuanya. Namun setelah rumah jadi terucap lah kata-kata yang miris itu.
Pasrah? Begitulah hari-hari yang saya jalani. “Sekarang dunia saya, kerja dan anak. Lain sudah tak saya pikirkan lagi. Saya jalani saja sekarang ini apa adanya. Dan yang saya coba perbaiki hubungan baik saya dengan ibu. Semoga saja hati ibu luluh dan mau memaafkan saya,” tutupnya sambil terus menghisap rokok kretek yang sudah 3 batang ia habiskan dalam waktu 3 jam.