09 July 2007

Melancong ke Kota Kilometer 100




(Tulisan ini sudah dimuat di tabloid Aplaus-Medan edisi 50)

Waktu kota di kilometer 100 ini diselimuti kabut. Kota Takengon seolah menyembul dari balik awan, saat itu kota yang berpenduduk 215.898 jiwa ini seperti negeri di atas awan….

Kalau di Sumut ada Lake Toba, Sumatera Barat ada Danau Maninjau, di Aceh Ada Danau Laut Tawar. Danau seluas 5.472 hektar yang terletak 1.205 meter di atas permukaan laut ini penuh dengan cerita legenda. Letaknya pas dipingiran Kota Takengon, tepatnya diantara sela-sela perbukitan kaki Gunung Geureundong. Si burung merak, WS Rendra dan Iwan Fals, April lalu meyempatkan diri menginjakkan kaki mereka di tanah gayo. Menikmati panorama alam yang masih natural di sini.

Melalui perjalanan darat dari Banda Aceh menuju Takengon, kami merasakan sensasi lintasan kelokan yang terjal. Saat kami menuju kota yang memiliki luas 5.772,5 km2, kami menikmati nuansa perjalanan dengan pemadangan hutan pinus. Ketika tiba dikelokan pungung bukit, Danau Laut Kawar menyembul di rentetan atap-atap rumah semi permanen yang berada di tempian danau.

Sebelum melewati Krueng Simpo, saya melihat kios kecil berjejer menjajakan penganan yang bisa anda bawa pulang sebagai oleh-oleh. Kabupaten Bireun, sebagai kota translit terkenal dengan oleh-oleh nya, seperti keripik pisang, ubi kayu/ketela, sukun dan kue nagasari. Selain itu anda juga bisa menikmati sate Matang di sini.

Sate Matang, di makan dengan nasi putih dan ada kuah-nya (kaya kuah soto). Bumbu kacangnya tidak halus layaknya bumbu sate kacang biasa. Perbedaan yang kentara pada sate Matang yaitu daging sate Matang di potong dengan ukuran besar (dadu), segar-segar disajikan tanpa dipoles bumbu terlebih dahulu. Harum bau daging bakar bikin selera makan anda jadi naik.

Setelah 8 jam melakukan perjalanan darat, akhirnya saya sampai juga di Takengon. Kota ini tidak terlalu besar, tata letaknya masih sama seperti 6 tahun lalu ketika saya pernah ke mari, waktu itu suasana Aceh masih diselimuti konflik. Tapi sekarang sudah aman dan di jalan saya tidak perlu takut sweeping lagi.

Wisata Gua
Takengon selain terkenal dengan wisata alam Danau Laut Tawar, agro wisata, juga ibu kota Kabupaten Aceh Tengah ini terkenal dengan wisata guanya, yaitu Gua Loyang Koro dan Loyang Pukes. Letak dua gua ini tidak begitu berjahuan, dan masing-masing gua memiliki keunikan masing-masing.

Setelah menguyur tubuh dengan air yang begitu sejuk di hotel, kami pun bergegas ke Loyang pukes, gua yang terkenal dengan cerita legenda Putri Pukes yang berubah menjadi batu. Saat itu hujan turun, udara semakin sejuk, tapi tidak lama setelah lebih kurang 15 menit perjalanan ke gua ini hujan mulai reda. Saya hanya mendengar gemerisik air yang jatuh dari dalam gua. Abdulla, sijuru kunci gua mulai menghidupkan lampu serongkengnya. Cahaya lampu mulai membias keseluruh dinding gua sehingga kami melihat dengan jelas beberapa bebatun gua yang aneh. Abdullah menjelaskan semua keanehan yang terdapat di gua ini. Hingga kami melihat dua orang halus penjaga gua yang duduk persis di dekat tangga. Anda dapat melihatnya melalui kamera hp.

Di dalam Loyang Pukes, selain terdapat batu putri Pukes, juga terdapat patung suami putri Pukes. Sayang, 200 meter jalan menuju patung suami Putri pukes tidak bisa ditelusuri karena oksigen berkurang. Di gua ini juga terdapat fosil ular penjaga, batu patung pemuja orang purba, patung batu arca, kampak berimbas, petumbuk sirih, terdapat tapak kaki orang zaman dulu, tempat semedi, batu gentong, batu seribu hayalan, dan banyak lagi keanehan di sini yang bisa ditelusuri berdasarkan cerita yang melegenda yang keluar dari mulut juru kunci yang sudah 16 tahun menjaga gua ini.

Pria usia 42 tahun ini pun menampakan kepada kami tentang keanehan batu hayalan, setelah cahaya lampu serongkeng diarahkan di balik batu tersebut. Sekilas batu seperti dua pulau terujung di Indonesia, pulau Weh (Sabang) dan pulau Irian. Satu sisi lain anda akan melihatnya seperti wayang. “Banyak bentuk aneh bisa kita lihat di batu seribu hayal ini,” ujar pria berkulit hitam manis ini dengan logat Gayonya.

Pacuan Kuda, Bintang
Takengon terkenal dengan pacuan kudanya. Masyarakatnya yang gemar pacuan kuda ini terbilang berani. Para joki, saat berlaga di arena tidak mengunakan pelana. Cukup memakai kaus dan celana pendek. Betul-betul alami.

Lokasi pente Menye-Bintang merupakan tempat asal usul pacuan kuda tradisional di dataran tinggi Gayo. Di tempat ini pula telah dibangun prasasti yang dijadikan tempat wisata. “Pante Menye-Bintang sangat tepat dijadikan tempat wisata. Selain panorama alam sekitar sini indah, di tempat ini juga dulunya cikal bakal olahraga pacuan kuda tradisional. Nah, biar mengundang daya tarik pelancong kami juga mengadakan pacuan kuda air. Arena pacuannya sendiri berada ditepi Danau Laut Tawar,” papar salah seorang petinggi Militer Aceh Tengah, Afrianto.

Senja itu kami melihat puluhan anak seusia sekolah membawa dan memandikan kuda mereka dibagian ujung timur Danau Laut Tawar. Mutiara itu mulai tampak riak dan tensenyum kala senja dengan pemandangan anak-anak yang bermain di danau dengan kuda mereka. Setelah selesai, mereka pun berjalan dengan kaki telanjang sepanjang tepian menuju rumah. Pencari ikan depik masih setia bercokol di rumah-rumah terapung, sambil menunggu malam semakin pekat.