Kala Matahari menarik selimut mencari kehangatan, Rembulan senandungkan nyanyian hati untuk sang Mataharinya....
26 December 2009
Rieke Diah Pitaloka: Perlu Semangat Perang Sabil Halau Korupsi Di Aceh
(artikel ini sudah terbit di Tabloid Modus Aceh edisi 34 Thn VII)
Seniman dan penyanyi Frangky Sahilatua bilang, korupsi itu, ‘bunda’ dari keterpurukan. Rieke Diah Pitaloka, politisi dan aktris ini mengusulkan, perlu ditumbuhkan semangat perang sabil dalam memberantas korupsi di Aceh..
Saniah LS
Perempuan yang akrab disapa Oneng (dalam sinetron “Bajaj Bajuri” dan “Salon Oneng”) itu memiliki pandangan istimewa untuk Aceh, terutama masyarakatnya. Wanita yang memiliki nama panjang Rieke Diah Pitaloka Intan Permatasari ini berpendapat, Aceh merupakan tumpah darah atau tanah kelahiran tokoh-tokoh besar yang memiliki prinsip kuat.
“Aceh tanah kelahiran manusia-manusia besar yang berprinsip kuat: melawan kolonialisme, menentang eksploitasi manusia terhadap manusia lain, akibat yang sama disebabkan oleh korupsi.” katanya, 8 Desember 2009 lewat sandek (pesan pendek/SMS) kepada media ini. Kata Oneng, korupsi telah menyebabkan kemiskinan dan kebodohan pada bangsa dan negara ini.
“Saatnya semangat perang sabil ditumbuhkan di Aceh untuk mengenyahkan korupsi dan para koruptor. Tentu saja, diiringi dengan kekuatan doa yang keras seperti batu, seperti perjuangan dan doa Cut Nyak Dien dalam melawan penjajahan,” ungkap pemain sinetro Srikandi ini penuh kekaguman.
Saat diwawancara media ini, Rieke mengaku sedang berada di rumah sakit. Anaknya sedang dirawat. Wawancara dilakukan melalui pesan singkat (SMS) dan perempuan kelahiran Garut, 8 January 1974 ini membalasnya.
Istri dosen filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral Adian ini menyarankan tentang apa yang harus dilakukan masyarakat Aceh untuk memberantas para koruptor. Katanya, yang harus dilawan adalah melakukan perlawanan bersama dibarengi dengan penegakan hukum dan keputusan politik yang bersandar pada rasa keadilan rakyat bukan justru menyelamatkan pelaku.
Anggota DPR RI periode 2009-2014 dari Partai PDI-P ini menuturkan. Aceh sangat kaya. “Kalau kekayaan Aceh dikelola untuk rakyat seperti amanat UUD’45, saya yakin tidak hanya akan mensejahterakan rakyat Aceh tapi juga memakmurkan bangsa Indonesia,” ungkap alumni S-1 Fakultas Sastra Belanda Universitas Indonesia tersebut. Menurut Rieke, terjadinya korupsi besar-besaran di Aceh sudah sejak zaman Orde Baru. “Aceh hanya dieksploitasi untuk memperkaya pihak dan pejabat tertentu. Tapi yang saya khawatirkan korupsi juga terjadi pada rekontruksi Aceh paska tsunami,” ungkap dia.
Apa yang dikhawatirkan lulusan S-2 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) ini benar terjadi. Bisa dilihat dari beberapa perberitaan di harian lokal maupun nasional. Tak henti-hentinya mewartakan korupsi yang terjadi di Aceh.
Bangsa Indonesia dan masyarakat Aceh khususnya, saatnya untuk bangkit melawan para koruptor yang telah membuat bangsa ini semakin terpuruk. Para kuruptor seakan sudah ‘putus urat malu’ untuk terus ‘menelan’ uang rakyat dan menjadikan korupsi di Indonesia bagai ‘rantai setan’ yang tak pernah putus.
Tepat 9 Desember 2009, gejolak anti korupsi pun dikumandangkan secara serentak oleh beberapa elemen masyarakat yang peduli. Namun tetap saja ada pro dan kontra. Bayangkan dari survey yang dilakukan pada tahun 2008 pada 180 negera di dunia, Indonesia masih menduduki posisi yang memalukan, yaitu posisi ke-126 negara terkorup di dunia sejajar dengan negara Ethiopia. “Indonesia negara terkorup, sudah seharusnya kita melakukan perlawanan, karena kebodohan dan kemiskinan yang ada di negara ini terutama akibat korupsi yang sudah bersifat masih dan mengakar diberbagai bidang,” ujar penulis buku “Renungan Kloset” ini.
Lalu, presenter acara Book Review di Metro TV ini mengatakan. “Antuisme berbagai elemen masyarakat memperlihatkan kesadaran publik untuk melawan korupsi jangan diartikan negatif. Korupsi termasuk extra ordinary crime. Cara mengatasinya harus melibatkan setiap pihak terutama active citizenship.” Oleh karena itu Rieke sangat menyesali pernyataan Presiden SBY yang mengkhawatirkan tentang orasi yang dilakukan 9 Desember 2009 lalu dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia. Menurut SBY ketika itu, aksi tersebut disinyalir ada tunggangan politik.
“Seharusnya Susilo Bambang Yudoyono merasa senang dengan antusiasme publik menyambut hari anti korupsi. Berarti ada semangat bersama untuk memerangi korupsi, bangkitnya kesadaran masif untuk menolak impunitas terhadap koruptor, melawan mafia peradilan yang sering kali membuat proses hukum justru jadi rehabilitasi nama bagi pelaku,” katanya sambil menyerukan bahwa perjuangan yang selama ini ia lakukan bersama teman-temannya merupakan perjuangan yang fiur kemanusian.
Penulis buku “Kekerasan Negara Menular Ke Masyarakat” ini juga tidak pernah merasa takut dengan apa yang dia perjuangkan. “Saya yakin saya tidak sendiri. Bagi saya rasa takut hanya akan melumpuhkan akal sehat, membukam kebenaran,” ucapnya tegas. Katanya lagi, perjuangan yang ia usung itu tanpa keberpihakan pada jenis kelamin. Baginya, siapapun korban harus tetap dibela.
“Keberpihakan pada korban harus jadi landasan perjuangan. Saya tidak mau terjebak dikotomi laki-laki atau perempuan. Siapa pun yang menjadi korban itu harus dibela. Keberpihakan terhadap perempuan karena posisi saya sebagai korban dalam sistem yang tidak berpihak kepada yang lemah,” paparnya mantap. Menurutnya politik itu tidak boleh diskriminatif. Setiap warga negara punya hak dan kewajiban yang sama, berkedudukan sama dihadapan hukum tanpa dibedakan jenis kelaminnya.
Rieke pun menutup wawancara ini sambil mengatakan, setiap pilihan yang dilakoni manusia selalu ada resikonya. “Sebelum menentukan pilihan harus sudah memperhitungkan resikonya,” pesan pemain sinetron “Perawan-Perawan” ini penuh arti.***