26 December 2009

Cerai Gugat 'Rajai' Ranah Perceraian Di Aceh


(artikel ini sudah terbit di Tabloid Modus Aceh edisi 17 Thn VII)

Sepanjang tahun 2008, kasus perceraian di Aceh didominasi cerai gugat. Ada 1.863 perkara yang masuk ke 19 Mahkamah Syar’iyah. Sedangkan Juni 2009, jumlah kasus cerai gugat berjumlah 179 kasus. Pertanda apa ini?

Saniah LS

Permudah nikah, persulit talak. Hadist Rasulullah Muhammad SAW ini, agaknya tak begitu melekat lagi di Aceh, tanoh (tanah) Serambi Mekkah.
Lihatlah, di provinsi bersyariat Islam ini, kasus cerat gugat dan talaq, justeru meningkat drastis. Khususnya medio 2008. Motifnya bermacam-macam.
Ada cerai dan talaq yang menggugat cerai suami. Ada juga cerai gugat yang dilakukan suami terhadap sang istri. Di Aceh, angka kasus cerai gugat kian menunjukkan trend meningkat, dibanding perkara cerai talaq.
Data yang didapatkan MODUS ACEH di Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Kamis, 30 Juli lalu membeberkan peliknya masalah ini.
Kalau dilihat dari tahun ke tahun kasus perceraian cerai gugat lebih banyak jumlahnya dibanding cerai talaq. “Kalau kita lihat hampir bersamaan tahun 2009 maupun 2008. Artinya, setiap bulan atau tahun perkara yang masuk hampir sama, tapi yang lebih menonjol cerai gugat dibandingkan cerai talaq. Walau kita buka laporan masuk 2007, sama juga, cerai gugat tetap dominan,” kata Kepala Panitera Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Drs. A. Murad.
Sementara penyebab dari perceraian dengan alasan tidak ada tanggungjawab menjadi pemicu utama. Tidak ada tanggungjawab ini pun kalau dipilah lagi ada beberapa alasan lain di dalamnya. “Faktor ekonomi ada kaitannya juga dengan masalah tidak adanya tanggungjawab yang menjadi pemicu utama dalam kasus perceraian di dalam rumah tangga,” jelas A. Murad. Dia memberi contoh, suami mungkin tidak bertanggungjawab sehingga ekonomi rumah tangganya terabaikan.
Drs. H. Armia Ibrahim SH, Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh menjelaskan. Menurutnya, berkaitan dengan perkara cerai yang paling dominan teridentifikasi tidak adanya tanggungjawab dari pihak laki-laki.
Kata dia, hal itu berkaitan jika dilihat lagi dari penyebab terjadinya banyak perkara cerai gugat yang dilakukan para istri. “Jadi istri mengugat suami karena tidak ada tanggungjawab. Tidak ada nafkah, tidak pulang lagi, dan ditelantarkan,” ujar hakim tinggi, sekaligus Humas di Makamah Syar’iyah Aceh ini.
Masih kata Armia. “Makanya, persentase lebih banyak cerai yang diajukan istri dalam bentuk cerai gugat dibandikan dengan cerai yang diajukan suami dalam bentuk cerai talaq di Aceh”.
Pihak lelaki adalah pemimpin rumah tangga, lelaki juga lah yang bertanggungjawab terhadap pemberian nafkah bagi keluarganya; istri maupun terhadap anak-anaknya.
Penyebab terjadinya cerai talaq, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, karena terus menerus terjadi perselisihan atau kata lain tidak harmonis dalam rumah tangga ataupun cekcok. Penyebabnya, bisa karena si istri, sehingga si suami mengajukan cerai talaq, dengan alasan terus menerus berselisih atau cekcok dengan istrinya.
Sementara penyebab terus cekcok tersebut, kata Armia, jika dilakukan penyelidikan atau dilihat dari isi gugatan. Salah satu pihak berkianat, berselingkuh, dan segalam macam penyebab terjadinya ketidak harmonisan dalam jangka waktu yang lama.
Jadi, perselisihan yang timbul itu bermacam-macam. “Ada kurang nafkah, kadang-kadang salah satu pihak tidak bisa diberi bimbingan, kurang taat, diajar sholat tidak mau, ada yang terjadi karena itu. Terus menerus selisih kita lihat akhirnya diketahui penyebabnya bisa macam-macam,” ungkap Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh ini.
Ida (nama samaran-red), seorang PNS, mengatakan kepada Media ini, Jumat, 31 Juli lalu. Dia hampir saja bercerai dengan suaminya. Itu disebabkan, percekcokan yang terjadi dalam rumah tangganya. Pemicunya, karena orang ketiga.
Selama ini, ia coba untuk tetap bersabar demi anak, namun sering kali suaminya jarang pulang ke rumah dengan alasan tugas di luar daerah. Akibatnya, dia hilang kesabaran dan meledak. Itu terjadi, saat dia menemukan kata-kata mesra di HP milik suaminya, yang sengaja ia buka sewaktu suami lagi tidur. “Selama ini saya coba untuk bersabar. Bahkan pernah seminggu suami tidak pulang alasannya lagi dinas seminggu di Medan. Saya sudah dengar dari teman-teman saya dan tetangga bahwa suami saya itu berbohong. Sewaktu saya tanya, yang ada hanya cacian dan makian yang terlontar dari mulutnya,” curhat Ida, wanita berusia 30 tahun ini.
Terus Ida melanjutkan, ia pun mendiskusikan hal ini dengan keluarga. Juga keluarga pihak suaminya. Akhirnya ia pun memutuskan membawa perkara ini ke Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, cerai gugat.
Setelah sidang pertama, si suami memohon maaf dan ingin berdamai karena menimbang anak mereka yang masih kecil dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, makanya Ida pun menarik gugatan cerai gugatnya itu. Akhirnya atas bimbingan mediator seorang ustad dekat lingkungannya, suami pun insyaf. “Alhadulillah akhirnya suami saya mulai berubah. Kini, dia menjadi suami yang baik untuk saya dan bapak yang baik untuk anak-anak. Saya juga intropeksi diri, karena saya tahu saya juga pasti ada kesalahan sehingga suami saya berselingkuh. Intinya demi anak kami berdua saling intropeksi diri,” katanya sambil berbagi pengalaman.
Pada tahun 2008, di 19 Mahkamah Syar’iyah yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh (lihat diagram), Takengon dan Bireuen menduduki posisi pertama dan kedua yang banyak masuk perkara perceraian.
Untuk kasus cerai talaq dan cerai gugat. Di Tekengon terdapat 175 kasus cerai talaq dan cerai gugatnya berjumlah 243 kasus. Sedangkan di Mahkamah Syar’iyah Bireuen, tercatat ada 86 kasus cerai talaq dan 158 kasus cerai gugat.
Sementara jumlah total perkara yang masuk untuk kasus cerai talaq dan cerai gugat di 19 Mahkamah Syar’iyah di Aceh, berjumlah 854 perkara untuk kasus cerai talaq, sedangkan cerai gugat berjumlah 1.863 perkara pada tahun 2008. Pada Juni 2009, dari data yang didapat MODUS ACEH (Mahkamah Syar’iyah Aceh-red) total kasus cerai talaq yang masuk ada 58 perkara. Sedangkan cerai gugat berjumlah 179 perkara. Masih terlihat cerai gugat mendominasi perkara kasus cerai di Aceh.
Pada Juni 2009, dilaporkan Mahkamah Syar’iyah Aceh bahwa perkara cerai gugat yang telah diputuskan Mahkamah Syar’iyah Aceh. Kabupaten Bireuen menduduki posisi pertama untuk kasus cerai gugat yaitu 21 perkara, sedangkan kedua diduduki Kualasimpang dengan jumlah kasus cerai gugat 19 perkara, Takengon berada di posisi ketiga, yaitu 17 perkara untuk kasus cerai gugat. Sedangkan untuk cerai talak pada bulan Juni 2009, malah yang telah diputuskan Mahkamah Syar’iyah Aceh, Takengon menduduki posisi pertama yaitu 14 perkara. Gejala apa ini?***

Kasus Perceraian di Kubu PNS

Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990, bagi PNS ada peraturan tersendiri dalam hal kasus perceraian, salah satunya harus ada izin atau persetujuan dari pejabat.
Pada bulan Juni 2009, Mahkamah Syar’iyah Aceh mengeluarkan laporan, ada 40 perkara yang masuk, terdiri dari cerai talaq sebanyak 13 kasus. Sedangkan 27 kasus cerai gugat. Dari jumlah itu ada 25 kasus yang dalam proses dan 3 kasus sudah diputuskan. Demikian data yang diperoleh Media ini, 30 Juli lalu.
Sedangkan pada tahun 2008, ada sebanyak 232 perkara cerai yang masuk ke Mahkamah Syar’iyah Aceh, terdiri dari 101 kasus cerai talaq dan 134 cerai gugat. Sementara dari 232 perkara yang masuk tersebut, 123 dalam proses, 45 telah diputuskan, dan 1 kasus sudah dicabut.
Kebanyakan kasus cerai di kubu PNS atau yang dikenal dengan kasus cerai PP No. 10 tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990, pada tahun 2008. Data yang diperoleh MODUS ACEH dari Mahkamah Syar’iyah Aceh, ada 131 kasus cerai PP No. 10 tahun 1983 jo. PP No. 45 tahun 1990, yang mendapat izin pejabat. Rincinya, ada 36 kasus persetujuan pejabat, 28 kasus tidak ada izin pejabat, dan 19 tidak ada persetujuan pejabat.
Sedangkan khusus pada Juni 2009, dari 40 perkara yang masuk, 20 diantaranya ada izin pejabat, 6 tidak ada izin pejabat, 5 ada persetujuan pejabat dan nihil tidak ada persetujuan dari pejabat. “Biasanya perkara cerai gugat maupun cerai talaq di kalangan PNS sesuai PP No. 10 tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990, diprosesnya bisa tiga bulan. Sebelumnya kami meminta surat izin dari pejabat atau persetujuan. Nah, jika ini tidak ada maka kami akan mengatakan apa saja sangsi-sangsinya, itu sebagai pertimbangan. Ada tidak ada izin atau persetujuan perkara yang masuk tetap diproses,” jelas Drs. A. Murad, Kepala Panitera Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Kamis, 30 Juli lalu.***

Drs. A. Murad: HP Salah Satu Pemicu Perceraian

Handphone, menurut penuturan Kepala Panitera Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Drs. A. Murad, menjadi salah satu pemicu terjadinya perceraian. Ternyata penggunaan HP telah digunakan sebagian orang untuk berselingkuh dan berakhir dengan perceraian.
Simak wawancara yang dilakukan wartawan Media ini, Saniah LS dengan Drs. A. Murad di kantornya, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Kamis, 30 Juli 2009 lalu.
Kalau dilihat data yang ada, kasus cerai gugat lebih banyak. Menurut Anda kenapa fenomena ini terjadi?
Artinya begini, setiap bulan atau tahun itu hampir sama perkara yang masuk tapi yang lebih menonjol yaitu cerai gugat dibandingkan cerai talaq. Tapi kalu kita lihat perbandingannya tahun 2008 dengan 2009 tentang kasus cerai gugat. Menurut saya hampir sama. Begitu juga kalau kita buka pada tahun 2007, sama juga faktor penyebabnya.
Apa pemicunya?
Kalau dilihat dari data yang ada pemicu bisa beragam, tapi yang paling banyak dari bulan Januari hingga Juni 2009 adalah, yaitu tidak ada tanggungjawab. Kemudian ada juga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak harmonis atau sering terjadinya percekcokan, poligami tidak sehat, dan faktor ekonomi.
Faktor ekonomi?
Ya. Faktor ekonomi ada kaitannya juga dengan tidak adanya tanggungjawab. Suaminya mungkin tidak bertanggungjawab sehingga perekonomian rumah tangganya itu terabaikan. Tapi bisa juga bukan karena tidak ada tanggungjawab, kemampuan si suami dalam mencari nafkah cuma segitu, sehingga istrinya tidak bisa menerima.
Biasanya umur rumah tangga yang mengalami perceraian berusia berapa tahun?
Bervariasi, malah kalau dilihat dari usia individu ada yang berumur 60 tahun, tapi kalau usia rumah tangga ada yang 4 tahun ada juga yang 5 tahun. Malah ada 15 hingga 20 tahun menjalani kehidupan rumah tangga, sudah dibilang matang, tetapi masih juga mengalami perceraian. Ada juga rumah tangganya baru berusia satu atau dua tahun sudah bercerai.
Kok bisa?
Begini, yang banyak saya dapati kasus peceraian karena tidak adanya kecocokan. Paska tsunami, pasangan suami dan istri yang duda dan janda, ditinggal mati suami maupun istri karena tsunami. Mereka dipertemukan kemudian menikah. Sehingga setelah menjalani rumah tangga satu atau dua tahun dan ternyata tidak cocok akhirnya bercerai. Hal ini lah yang sering terjadi alasannya karena tidak cocok.
Apa ada hal?
Ada hal lain yang menonjol selama ini yaitu masalah HP. Penyebab perceraian karena HP banyak sekarang. Artinya ada karena masalah isi SMS, atau telpon iseng yang masuk. Jadi sehingga keluarga itu berantakan lantaran salah satu alasannya karena cemburu. Hal ini bisa juga terjadi pada suami maupun istri.
Kalau masalah pemicu cerai talaq?
Ada karena masalah anak. Istri yang terlalu mementingkan diri sendiri, sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga suami merasa istri telah mengabaikan suami dan anak. Artinya istri kurang bertanggungjawab dalam hal mengurus rumah tangga. Dalam hal ini juga suami merasa tidak dihargai, sebagai kepala rumah tangga.
Ada yang berakhir dengan damai?
Kalau kita lihat dari banyaknya perkara yang masuk, ada 5 persen yang berakhir dengan damai. Karena biasanya pada sidang pertama selalu diadakan perdamaian yang kemudian oleh hakim dalam sidang juga menganjurkan usulan untuk berdamai. Jika ini tidak berhasil maka dilakukan mediasi melalui mediator baik dari hakim sendiri atau mediator dari luar, kalau ada.
Ada yang sudah berdamai kemudian akhirnya mengajukan lagi cerai talaq maupun cerai gugat?
Ada. Artinya begini, kali ini dia masukan perkara kemudian mencabutnya. Tapi tahun depan masuk lagi, karena rumah tangganya sudah cekcok lagi.
Kapan kira-kira pengajuan gugat cerai dilakukan?
Bisa dilakukan saat tidak ada lagi keharmonisan dalam rumah tangga, bisa juga keduanya mencoba bertahan walau terjadi percekcokan, namun setelah 2 atau 5 akan datang baru mengajukan gugatan untuk bercerai. Malah ada yang sudah pisah rumah baru mengajukan cerai gugat atau cerai talak ke mahkamah.

Drs. H. Armia Ibrahim SH:
Ada Kasus Poliandri di Aceh

Kalau kasus poligami, itu sudah biasa didengar. Apakah itu poligami ‘tidak sehat’ alias nikah tanpa diketahui atau seizin istri. Poligami dalam bentuk nikah bawah tangan (siri) maupun poligami ‘sehat’ yang sudah dapat restu dari istri. Tapi, kalau Poliandri? Nah, ini yang jadi soal. Selain melanggar ajaran agama, juga tidak dibenarkan secara hukum negara. Bayangkan, jika seorang perempuan melakukan poliandri. Bisakah ditebak, siapa ayah dari anak yang dilahirkan?
Begitupun, siapa sangka, Aceh yang dikenal sebagai provinsi bersyariat Islam. Praktik ini terus saja terjadi. Yang paling anyar adalah, dugaan praktik poliandri yang dilakukan Rita Ariani, seorang ibu rumah tangga asal Kota Bireuen yang tinggal di Medan.
Istri T Sulaiman alias Ampon Man, mantan anggota DPRK Bireuen itu, diduga telah menikah (poliandri) dengan Mustafa A Glanggang alias Gus Mus, mantan Bupati Bireuen. Kasus gugat cerainya akan disidangkan Mahkmamah Syar’iyah Bireuen.
Seperti apa praktik poliandri ini terjadi? Simak wawancara wartawan MODUS ACEH, Saniah LS dengan Drs. H. Armia Ibrahim SH, Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh, Kamis, 30 Juli 2009.
Apakah di Aceh sudah ada kasus poliandri?
Ada beberapa. Tahun lalu ada masuk ke mahkamah, kalau nggak salah Mahkamah Syar’iyah Jantho, perempuan yang nikah lagi padahal wanita itu belum lagi dicerai oleh suaminya.
Terus bagaimana proses kelanjutan hukum bagi pelaku poliandri itu?
Karena si istri yang melakukan poliandri, secara Islam tidak dibenarkan. Biasanya si suami melakukan gugatan ke mahkamah untuk pembatalan nikah yang dilakukan istrinya pada kadi liar, karena belum cerai sama suami pertamanya lantas nikah lagi. Setelah di proses di mahkamah maka akhirnya si pelaku poliandri beserta suami tidak sahnya itu dihukum oleh pengadilan umum. Kalau tidak salah 5 tahun penjara, untuk kasus di Jantho ini.
Apakah setelah itu si istri akan kembali ke suami pertamanya?
Biasanya jarang kasus yang saya bilang di atas tadi si suami ke mahkamah meminta agar mahkamah membatalkan nikah yang dilakukan si istri dengan lelaki lain tanpa sepengetahuan dirinya pada kadi liar. Yang ada setelah ketahuan si istri nikah lagi padahal belum cerai dengan suaminya, si suami ke mahkamah justru mengugat cerai dan mengajukan cerai talak ke istrinya itu. Itu biasanya yang banyak terjadi di Aceh.
Kalau kadi liarnya bagaimana?
Inilah bahaya praktek kadi liar. Untuk perempuan yang belum cerai dengan suami pertamanya, tiba-tiba saja sudah dinikahkan dengan lelaki lain. Malah si kadi juga menjadi wali untuk perempuan ini. Hal ini bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974, Undang-undang Perkawinan, bahwa orang yang tidak berwenang menikahkan orang lain atau orang menikah tidak menurut hukum negara bisa dihukum atau didenda dengan Rp 7500,-. Kalau pun dihukum sangat ringan dan ini jarang sekali dilakukan tuntutan atau penyelidikan oleh jaksa meski ketahuan ada pelanggaran untuk ini.
Bukankah terlalu ringan hukumannya?
Ya, makanya diharapkan seluruh Indonesia nanti ada aturan orang yang bertindak sebagai kadi liar langsung dihukum oleh pengadilan agama sendiri, jadi tidak dilimpahkan lagi kepengadilan umum. Ini lagi berjalan dan diproses, sehingga nantinya hal ini dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang Perkawinan.
Apa ada kasus yang serupa terjadi di Aceh?
Beberapa waktu lalu, ada kasus perempuan yang menikah lagi dengan mengantongi surat cerai palsu. Si wanita ingin menikah lagi namun belum cerai. Kasus ini banyak ditemukan KUA, sehingga dalam hal ini KUA sangat berhati-hati, seiring banyaknya terdapat surat cerai palsu yang beredar yang dilakukan oleh calo, yang mencari uang dari menjual atau membuat surat cerai palsu tersebut. Dan praktek ini juga sangat berbahaya.***
About Thing Poliandri & Kadi Liar:
Sanksi hukum poliandri di Indonesia, mengacu pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perceraian dan Undang-Undang Pidana yang mengatur perzinahan.
Poliandri di Indonesia tidak diakui dan hingga saat ini belum ada hukum yang mengaturnya. Mengapa? Ya sebab azas hukum perkawinan Indonesia menganut azas monogamy.
Penelitian yang dilakukan Anna Urbanska dari Institut Arkeologi dan Ethnologi Polish, Poland sekitar tahun 1998 dan 1999, mendapati poliandri dianut oleh mereka yang mendiami dataran Tibet yang berumur sekitar 22 hingga 38 tahun.
Malah poliandri kini dilakukan wanita-wanita dari suku-suku yang mendiami Himalaya yaitu suku Sherpa, Bhutia, dan Lepcha.
Hubungan suami isteri poliandri, menurut para ahli dibidang sains dunia, beresiko penyebaran penyakit-penyakit berbahaya, seperti Chlamydia Trachomatis dan Gonnorrhea. Kata para ahli ini, pembiakan bakteria di organ pembiakan lelaki dan wanita itu, bisa berakibat pada kematian.
Poliandri bukanlah sifat manusia tetapi dari penelitian yang dilakukan Marlen Zuk, Profesor Biologi di UC Riverside, ia menyimpulkan bahwa poliandri merupakan sifat atau tabiat perkawinan yang dilakukan hewan. Seperti dalam penelitian DNA hewan yang dilakukan oleh Carol Cruzan Morton: The Chronicle 17 Februari 2003, dalam kajian DNA yang dilakukan ke atas burung-burung baka Australia yang mempunyai bulu berwarna-warni dan menarik, itu terjadi karena 90 presen gabungan DNA hasil proses perkawinan antara seekor burung betina dengan beberapa ekor burung jantan.
Sheikh `Attiya Saqr, bekas ketua Jawatankuasa Fatwa Al Azhar mengatakan tentang poliandri kenapa di larang dalam Islam, antaranya yaitu keadaan biologi wanita tidak memungkinkan wanita mampu mengamalkan sistem perkahwinan. Ini dapat dilihat dengan kitaran haid yang perlu dijalani oleh wanita setiap bulan yang mempengaruhi emosinya. Katanya lagi, ini akan menghambat tanggungjawab wanita dalam memenuhi kebutuhan pasangan-pasangannya.
Butir rekomendasi yang dihasilkan dalam Muzakarah Ulama-Umara se-Aceh Utara: Kadi liar (muhakkam fasiq) akan dijatuhi hukuman penjara maksimal 2 tahun dan sekurang-kurangnya 6 bulan, tidak bisa diganti dengan denda.***